Selasa, 28 Agustus 2007

Sebuah dongeng


Sebuah Dongeng


Oleh: A. Mustofa Bisri

Suatu ketika seorang bernama Abdurrahman datang bersama kawannya. Uqbah Al-harits, menghadap gubenur Mesir, mengaku telah berbuat kesalahan, “Semalam kami terjerumus minum-minumana keras dan mabuk,” katanya, “maka kami mohon agar dihukum sesuai peraturan yang berlaku.”


Maksudnya mereka berdua telah minum-minuman yang mereka kira bukan minuman keras, tapi ternyata memabukkan (Menurut Abdullah Ibn Umar, Abdulrrahman mengatakan kepada gubenur, “Bersihkan kami; kami telah mabuk akibat minuman yang kami minum !”).

Sang gubenur sudah mengenal betul siapa Abdurrahman, justru seperti tak berkenan mendengarkan pengakuan dan permohonannya itu. Kedua orang itu justru serta merta diusirnya.

Abdurrahman yang merasa tersiksa oleh ‘dosa” yang diperbuatnya, mengotot tidak mau pergi sebelum gubenur menjatuhkan hukuman kepadanya. “Jika anda tidak mau menghukum kami katanya, “saya akan laporkan kepada ayah saya nanti kalau saya pulang ke ibu kota”.

Menurut peraturan yang berlaku ketika itu, orang yang minum-minuman keras dijatuhi hukuman: digundul dan dicambuk didepan umum. Sang gubenur benar-benar merasa serba salah. Pasalnya Abdurarrahman adalah putra kepala negara yang mengangkatnya sebagai gubenur. Bagaimana dia bisa menghukum putra kepala negara, apa kata orang nanti ? Namun dilain pihak, gubenur mengenal betul kepala negaranya. Kalau dia tidak dilkasanakan hukuman dan Abdurrahman benar-benar melapor kepada ayahnya, niscaya dia akan kena murka dan dipecat.

Maka akhirnya ditemukan akal, Abdurrahman dan Uqbah dieksekusi di beranda dirumah kediaman gubenur. Dan hal ini, menurut pengakuan gubenur, sama sekali tidak dilaporkan kepada atasannya.

Tetapi entah bagaimana akhir berita itu pun sampai juga ke ibukota, terbukti beberapa waktu kemudian, ‘Amr Ibn Al-Ash, sang gubenur-juga yang menceritakan kisah ini menerima surat dari kepada negara yang berisi antara lain :

“BismiLlahir Rahmanirahiem. Dari Umar amirulmukminin kepada Amr Ibn al-‘Ash…. Aku heran terhadapmu, wahai Ibn Al-‘Ash dan terhadap keberanianmu melawan aturanku. Aku pikir, aku mesti memecatmu dengan tidak hormat. Kamu mencukur dan mencambuk di dalam rumah. Kamu tahu itu menyalahi aturanku. Abdurrrahman tidak lain adalah salah seorang dari rakyatmu yang seharusnya kamu perlakukan sebagai warganegara yang lain. Tapi kamu malah berpendapat Abdurrahman adalah anak Amirul mukminin. Bukankah kamu sudah tahu bagiku tidak ada perlakuan istimewa untuk seorang pun dihadapan hak Allah yang harus dipertanggungjawabkannya. Maka begitu kamu terima surat ini, segera kirim Abdurrahman dalam pakaian ‘aba-ah di atas pelana, agar dia tahu buruknya apa yang sudah diperbuatnya.”

Mematuhi intruksi amirulmukminin, sang gubenur segera mengirim Abdurrahman sebagai diperintahkan. Dan singkat kata, Abdurahman pun kemudian dihukum lagi oleh kepala negara, Umar ibn Khathahab, sang ayah. Padahal ketika itu Abudurrahman masih dalam keadaan lemah akibat hukuman yang pertama.

Cerita ‘Amr Ibn Al-Ash ini mirip dengan apa yang diceritakan oleh Abdurahman Ibn Umar, saudara kandung Abdurrahman yang bertindak mencukurnya di kediaman gubenur Mesir, sebelum saudaranya itu dicambuk.

Diceritakan sekarang, tentu saja kisah itu terdengar bagaikan donggeng 1001 malam. Bagaimana ada orang yang secara tidak segaja meminum yang memabukkan, dengan ngotot minta dihukum sebagai peminum minuman keras? apalagi orang itu adalah putra kepala negara? Bagaimana ada penguasa marah kepada bawahannya karena bawahannya itu dianggap anaknya sendiri ? dan kemudian mengulang hukumannya.

Diceritakan sekarang, memang kisah itu bagaikan dongeng. Apalagi dia disini, di saat ‘benteng pertahanan hukum’ terakhir kita begitu masya Allah. Di saat orientasi hukum dan keadilan tidak lagi kepada nurani dan keberatan, tapi lebih kepada arogansi kekuasaan dan kepentingan sesaat. Di saat kesadaran tanggung jawab –kalaupun masih ada -paling jauh berhenti pada atasan dan tidak pernah sampai kepada Yang Maha Atas, atau sekedar “tanggung jawab” belaka. Di saat hampir semua orang lupa bahawa semua orang, termasuk yang kini merasa gagah perkasa oleh jabatan dan kedudukannya, akan mati dan kelak tanpa kecuali akan menghadapkan kepada Pengadilan yang benar-benar agung.

Ya, di saat seperti sekarang, rasanya cerita tentang ‘kehati-hatian dan keadilan" bagaikan dongeng saja. Dongeng.