Kamis, 08 Mei 2008

DENGARKAN MEREKA BICARA






MONYET YANG BINGUNG




Suatu hari seekor monyet mendapatkan lima buah sawo sakti, yang dapat mewujudkan impian barang siapa yang memakannya. Rupa-rupanya si Monyet ingin menjadi manusia yang hidup di zaman purba, di mana segala sesuatunya tidak perlu membeli. Maka di makanlah salah satu dari kelima buah sawo saktinya, dengan permintaan agar ia dilemparkan ke zaman itu.


Syuuut......., bum ! Ia lahir kembali di zaman purba. Hutannya masih tebal penuh dengan beraneka buah yang menggiurkan. Tetapi tengah ia enak makan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh serbuan sejumlah kera lain yang bersenjata. Rupanya sedang trjadi peang antar suku ketika itu. Dan ini menakutkan hati si monyet. Maka serta-merta ia melarikan diri sambil berpikir, "Lebih enak hidup di zaman klasik."


Dan dimakannyalah buah sawo yang kedua. "Nyaem."


Syuuut.......bum! Tiba-tiba ia telah dilahirkan sebagai seorang Prancis! Ia begitu gagahnya dengan pantalon yang indah, di antara gadis-gadis cantik ber-rok panjang. Romantis sekali rasanya. Tak ada zaman seindah itu. Tetapi belum sempat ia mencium jemari lentik kekasihnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh gemuruh massa yang mendatanginya dengan gegap-gempita. Rupanya saat itu Revolusi Prancis sedang berlangsung. Ini sungguh menakutkan. Maka lagi-lagi, si Monyet lompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Ia pikir lebih baik Ia tinggal di negeri yang sama-rata sama-rasa, di mana semua orang memperoleh hal (dan hak) yang sama.


Dan dimakanlah buah sawo yang ketiga. "Nyaem." Syuuut.......bum! Sekejap saja si Monyet sudah lahir di sebuah kawasan yang sangat luas dan dingin! Uni Soviet! Ya, karena tadi ia ingin hidup di negeri di mana orang memperoleh hal yang sama dan konon juga hak yang sama. Sama-rata sama-rasa. Itu adalah faham komunis! Namun belum juga ia dapat memahami nilai-nilai itu, tiba-tiba saja seseorang bersepatu lars dengan wajahnya yang kaku dan dingin mencengkeram lengannya. "Pemalas!" hardik tentara Polit Biro itu. "Jam begini kamu tindak mengerjakan apa-apa. Ayo masuk kamp."


Wah, masuk kamp?! Ini sama dengan neraka! Si monyet langsung menelan buah sawonya yang keempat, supaya ia dapat minggat dari negeri seram itu dan brpindah ke negeri kebebasan: Amerika!


"Nyaem, nyaem!" si Monyet segera mengunyah buah sawo saktinya yang keempat. Dan syuuut........bum! Tidak lebih daripada sedetik kemudian ia sudah tiba di tengah keramaian kota New York. Kota di negeri modern dan penuh dengan kebebasan. Di tempat ini harkat manusia benar-benar dihormati. Senanglah hati si Monyet, yang sekarang boleh mengenakan celana jins-belei dan berkaos oblong, dan ia pun bebas ke mana pun ia mau pergi. Boleh berciuman di depan umum dan boleh mengkritik Presidennya kalau ia tidak senang. Sungguh, mana ada negeri yang se-pengertian seperti di Amerika ini ?


Tetapi ketika ia tengah menghirup udara kebebasan yang luar biasa itu, tiba-tiba terhirup juga udara yang amat lain baunya. Yaitu, upacara yang juga membebaskan orang menghujat Allah yang telah menciptakan dirinya itu. Maka merindinglah bulu kuduk si Monyet. Rupanya sejak presiden Abraham Lincoln mengizinkan berbagai paham memasuki negeri itu sebagai wujud kebebasan, Amerika telah kemasukan setan! Alkohol dan narkotika menjadi santapan sehari-hari di sana.


Akhirnya dengan menyesal si Monyet terpaksa memakan buah sawo saktinya yang terakhir untuk dapat kembali ke negeri tempat ia berasal. Sambil memegangi kepalanya yang terasa amat berat itu si Monyet bergumam, "Memang susah menjadi manusia."




***********




Pepatah berkata, "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan mata di negeri orang." Karena jika kita maupun ' hujan batu di negeri sendiri' dapat mengubah kita menjadi manusia yang tekun berdoa dan menyenangkan hati Tuhan.


"Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu."


1 Tesalonika 5:16-18