Kamis, 25 Oktober 2007

SUMPAH UNTUK INDONESIA


SUMPAH UNTUK INDONESIA
Oleh I B PUTERA MANUABA

SUMPAH Pemuda yang diikrarkan 75 tahun silam, 28 Oktober 1928, dapat kita pandang sebagai cikal- bakal pembentukan negara kesatuan RI. Saat itu the founding fathers kita secara antusias menyatakan tiga inti ikrar gagasan perekat bangsa, yakni: "Satu Bangsa", "Satu Tanah Air", dan "Satu Bahasa Persatuan".
Ketika itu ikrar Sumpah Pemuda memiliki makna yang amat signifikan bagi pembangunan kesadaran rakyat RI. Adalah suatu realita historis yang tak terbantahkan dalam sejarah bangsa bahwa ikrar itu memang dapat menggelorakan semangat nasionalisme yang dahsyat. Gelora nasionalisme yang makin membara menyembul menjadi letupan keberanian patriotik untuk melawan segala bentuk penjajahan kolonialis yang mengakibatkan rakyat menderita dan sengsara.
Patut kita akui bahwa Sumpah Pemuda adalah sumpah bagi tegaknya persatuan Indonesia. Sumpah itu telah mampu menyatukan rakyat yang tersebar luas dan tercerai-berai akibat politik devide et impera yang dicanangkan penjajah Belanda. Ia menjadi roh pemersatu bangsa. Maka, kemerdekaan yang kita raih dan nikmati hingga detik ini adalah ekses dari sumpah itu.
Generasi ’28 adalah generasi perintis yang berkomitmen tinggi mempersatukan bangsa dan melepaskan rakyat dari segala bentuk pendegradasian manusia, terutama yang berupa penjajahan secara berkepanjangan. Atas dasar itulah, maka dapat dibayangkan betapa kegigihan bangsa yang dipelopori pemuda idealis untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka, mandiri, dan memiliki jati diri.
Gaung Sumpah Pemuda itu memang mampu menginspirasi gerakan para pejuang bangsa sehingga mereka memiliki tekad dan semangat pantang mundur untuk membela bangsa dan tanah air. Kemerdekaan RI yang berhasil diraih pada 17 Agustus 1945 tentunya tak lepas dari gaung sumpah ini.
Menilik besarnya gaung Sumpah Pemuda mengarusi nilai-nilai perjuangan bangsa, tentu tak satu pun warga bangsa kita meragukan peran peristiwa itu sebagai tonggak sejarah yang selalu diingat dan dikenang para generasi bangsa. Semangat untuk bersatu padu sebagai bangunan sebuah bangsa yang berkarakteristik multikultural. Sumpah itu telah terpancang kuat dalam benak setiap anak bangsa. Tanpa sumpah itu mungkin perjalanan bangsa ini akan berkisah lain. Namun, yang jelas, kini kita telah menjadi satu bangsa dan satu tanah air yang diperantarai oleh bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.
SUMPAH Pemuda telah menjadi pilar pemersatu bangsa. Karena itu, kini kita wajib mengejewantahkan cita-cita para pencetus sumpah itu. Namun, sayangnya, realitas perjalanan bangsa yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa dan tanah air.
Pada titik ini, semangat patriotik bergeser menjadi depatriotik. Makna sumpah itu bagai terganjal batu besar sehingga sumpah tersebut seakan terhenti mengarusi jiwa dan semangat bangsa ini. Akibatnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan tanah air kini bukannya makin berjaya, tetapi justru terkoyak. Gejala depatriotik dan denasionalis ini memang seharusnya lebih dini diantisipasi agar bangsa dan tanah air kita tak makin terkontaminasi dan terpuruk.
Untuk itu peringatan Sumpah Pemuda ini barangkali bisa dijadikan momentum untuk melakukan sumpah untuk Indonesia. Mencermati kondisi bangsa yang amat memprihatinkan saat ini, sebagai bangsa kita perlu mengikrarkan sumpah dalam kesadaran inklusif masing-masing, kendati tanpa ada acara seremonial sebagaimana sumpah yang dilakukan puluhan tahun silam. Yang jelas, kita perlu bersumpah secara substantif dalam kesadaran kita sebagai warga yang memang benar-benar mencintai bangsa dan tanah air Indonesia.
Sebagai langkah penyelamatan bangsa, kita perlu mengikrarkan beberapa sumpah untuk negeri ini. Pertama, kita perlu bersumpah untuk tak berbuat korupsi. Korupsi yang merajalela saat ini terang-terang sangat merugikan bangsa dan negara kita. Besarnya korupsi di negeri ini membuat kita memperoleh predikat negara terkorup ke-6 di dunia. Predikat itu tentu saja menampar keras citra bangsa kita dalam pergaulan dunia internasional. Kendati terlambat, kita seyogianya mau bersikeras untuk melawan kemauan korup yang bersemayam dalam jiwa. Kita harus mengikrarkan sumpah antikorupsi secara bersungguh-sungguh dan bukan hanya dalam wacana.
Kedua, kita harus bersumpah untuk hidup sederhana. Mensyukuri apa adanya dengan senantiasa disertai ikhtiar dan doa adalah sikap yang pantas dikedepankan sebagai warga bangsa. Cara hidup seperti ini kiranya juga efektif untuk mengatasi krisis multidimensional di negeri ini. Hidup dalam lingkaran hedonisme hanyalah akan menjerat dan membelenggu kehidupan kita pada keinginan-keinginan tiada berbatas. Pada titik ini kita juga tak bakal mampu menghargai vitalitas hidup sebagai jalan menuju kehidupan yang abadi, yang nirduniawi. Keterbelengguan hidup hedonis atau materialis hanyalah akan menciptakan generasi hewaniah yang tak mampu menepis godaan duniawi sehingga asyik berkubang dalam kenikmatan-kenikmatan semu.
Ketiga, kita harus bersumpah untuk sadar hukum. Pelanggaran hukum, baik perdata maupun pidana, yang makin merajalela di negeri ini menjadi bukti nyata betapa kita makin tak jera dengan hukum. Ironisnya, di negeri ini, banyak orang yang paham hukum, tetapi justru mempermainkan hukum. Dalam konteks ini hukum hanya diperlakukan sebagai alat yang bisa dibelokkan kesana-kemari. Hukum tak dijadikan lagi sebagai standar menuju hidup tertib, teratur, benar, dan adil pada atmosfer berkehidupan dalam suatu bangsa yang berdaulat. Secara normatif, hukum memang menjadi hasil kesepakatan bersama. Namun, secara manusiawi, hukum juga harus dapat berlaku fleksibel sehingga kebijakan atau vonis hukum seharusnya lebih mengikuti kebergunaannya bagi kemanusiaan itu sendiri.
Keempat, kita harus bersumpah untuk lebih mengedepankan sikap altruistik. Sikap yang lebih mengedepankan demi kepentingan orang lain, bangsa, dan negara. Karena itu, kita mencoba memperkecil debit sikap individualistik dan konsumeristik berlebihan. Dengan sikap altruistik kita harus mampu secara horizontal membantu dan menolong sesama dan mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Rasa berbangsa dan bernegara menjadikan kita melakukan dedikasi tanpa pamrih. Seharusnya kita berbuat sesuatu tanpa terlebih dahulu memikirkan imbalannya. Di sini kita bukannya tak perlu imbalan, tetapi mampu memosisikan imbalan hanya sebagai dampak dari apa yang kita lakukan. Dapatkah kita bekerja bukan semata-mata demi uang? Bukankah setiap kerja kita akan memberi dampak? Barangsiapa yang mula-mula bekerja semata-mata demi uang, ia potensial akan terjebak oleh kekuasaan uang itu sendiri. Karena itu, hidup haruslah mengutamakan kerja. Kesalahan filosofis memosisikan kerja dan uang akan membuat kita bekerja terlalu pamrih.
Kelima, kita harus bersumpah untuk berhenti mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi atau kelompok. Nasib rakyat adalah yang benar-benar harus dibela serta diperjuangkan dan mereka bukan diposisikan hanya sebagai obyek untuk meraih keuntungan. Sudah menjadi kewajiban utama bagi siapa pun yang berkuasa untuk senantiasa memihak kepada rakyat. Harus ada pemahaman bahwa rakyat harus benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan. Pendelegasian kekuasaan oleh rakyat hendaknya tak diartikan menghilangkan kedaulatannya.
Selain sumpah-sumpah tersebut tentu masih banyak sumpah lainnya lagi yang harus diikrarkan dalam jiwa dan hati agar kita mampu hidup lurus dan berguna di tengah bangsa dan negara ini. Semakin banyak orang bersumpah secara tulus ikhlas dalam standar-standar hidup yang bermakna, citra bangsa kita akan makin bercahaya.

I B PUTERA MANUABA Dosen Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya